RAHASIA SANG DUKUN HUJAN
SECRET of DUKUN HUJAN KAMI
Salah satu yang ditakutkan dalam mengadakan perhelatan adalah hujan lebat, air masuk sampai mata kaki, sepatu basah, rusak, perut kembung. Ceritanya bakal diturun temurunkan sampai anak cucu…
Minggu malam 17 Desember 2017, awanpun sudah “ngenthak-enthak” tebalnya. Ini hujan extrim kalau turun bisa seperti dikasih formalin. Tidak terkecuali di Gedung Wanita Patra Simpruk tempat resepsi nikah diselenggarakan.
Mas Dody Julianto sudah mengeluarkan “songsong” untuk mengakomodasi undangan yang mungkin bakal kehujanan. Itupun ia lakukan sedari akad akan dimulai. Jarak antar Gedung dengan lokasi Parkir lumayan jauh.
Naga-naganya seperti lagu “BUKALAPAK”, AKAD berlangsung dalam suasana Payung Teduh.
Alhamdulilah, cuaca kali ini extrim bisa diajak berdamai. Resepsi berlangsung dalam keadaan kering.
Di luar dugaan, saya banyak ditanya “pakai orang pintar” dari mana. Atau “serana” – ritual apa yang dilakukan. Misalnya apakah ada celana dilempar (ini gedung orang), atau ramuan cabe dan bawang ditusuk lidi.
Kami tidak menggunakan jasa tersebut semua terpulang dari kehendak diatas. Terlintaspun tidak saat itu. Namun sayapun amat menghargai warisan nenek moyang, soal kepercayaan ini.
Saya lebih percaya doa para undangan sekalipun singkat “mbok yao jangan ujan yak,” selama dikeluarkan dengan ihlas, ya Insyaallah dijabah Tuhan.
Ketimbang doa panjang 300 lembar dengan kecepatan 3000 kata per menit lantas “tegese opo”.
***
Tapi kok ada cerita yang berbau uka-uka.
Lalu ingat sepuluh tahun lalu . “Desember 2007” – TKP Kapling Pendidikan.
Memang diantara kerabat ada yang kesehariannya dianggap Orang pintar, melalui medium menyampaikan pesan bahwa sang mBauRekso rumah minta Lisong, Kembang Setaman, dan sedikit -ngomongnya sambil berbisik – XXXXX .
Suara televisi berbunyi “tuut.” Sensor.
Alasannya ini rumah masih dingin (baru dihuni), butuh biaya pindah seredhanya agar mahluk halus mau tidur sementara dirumah saudaranya kalau siang. Itu kalau yang dibicarakan “diwongke” alias dianggap wadagnya sama dengan kita.
Permintaan Lisong diganti rokok biasa dan request XXXXX (bunyi tuut) dicoret.
Acara siraman dan serah-serahan berjalan lancar awalnya.
Mendada Mak Pet, Listrik mati saat upacara berjalan di rumah, padahal ya sudah loos stroom. Begitu penerangan darurat seperti petromax dinyalakan – maka Anai-anai keluar semua dari sarang sampai Petromak tersumbat sayap mereka.Sepuluh tahun kemudian, kalau hujanpun daerah kami masih bisa disaksikan laron macam air petasan mercon muncrat saking jumlahnya banyak.
Kok ndelalah, semua peralatan listrik mendadak seperti over voltage, kulkas, AC semua mengeluarkan getaran akibat over heat. Padahal dari segi kekuatan sekedar angkat beban pengeras suara apalagi lampu penerangan Video. Ia tak mampu. Duh..
Biar cerita lebih liar, semua tamu undangan yang bawa mobil, pulangnya harus didorong. Bukan macet melainkan kepater. Jalanan kami belum di semen. Masih tanah merah. Dan hujanpun seperti ikut meramaikan saat itu.
Kami memang akhirnya harus mengganti beberapa peralatan listrik.
Fact not fiction.. Believe of not..Kejadian sepulh tahun lalu, bisa dilewati “Kanthi Aman lan Tentrem..”
Thanks God..
FOTO TAK BERSAKSI
Sekali tempo saya dimintai menjadi saksi sebuah pernikahan kerabat. Seperti biasa, saya menyambut tugas ini dengan penuh antusias. Saya bilang sebagai dukungan, transportasi dan akomodasi di Bandung, biarlah kami tanggung. Idep-idep Libur ke Bandung tetapi kali ini obyek wisatanya adalah menjadi saksi.
Yang diluar dugaan dan sempat bikin mengkeret adalah setelah diberi tahu bahwa saksi pasangan saya kelak adalah Menteri BUMN yang sedang aktip. Namanya tak penting sebab bukan inti inti cerita.
Hari yang telah ditentukan, dalam acara temu pengantin, kami berhadapan, saya hanya membaca secarik kertas karangan sendiri. Kertas itupun sudah kumal seperti dokumen serifikasi yang mengikuti emas bodong jaman VOC. setelah mengucapkan salam, ucapan terimakasih kedua pihak tuan rumah, saya memperkenalkan nama saya, menyebut maksud tujuan kemari.
Sayang naskah serah terima yang baku yang biasa disuplai oleh pengantin baru muncul setelah jaman now, jaman WO.
Pernikahan dan resepsi berlangsung lancar. Pak penghulu nampak sedikit “ripuh” menikahkan seseorang didepan menteri yang lengkap dengan pengawalan. Berkali-kali ia menyebut saksi kepada saya tapi menyebut pak Menteri kepada saksi satunya. Pak Menteri bahkan berkenan memberikan sambutan sekaligus semacam Kotbah Nikah tambahan.
Kelar akad nikah, lalu dilanjutkan makan siang. Eufora lapar, mencicip makanan lezat, bertemu famili seperti biasa mengiringi sebuah perhelatan. Ditambah ini pesta kebun.
Saya tak memiliki dokumentasi babar blas berupa foto sepotongpun bersama pengantin apalagi bersanding dengan Menteri (Kumis). Dan berjanji ini jangan terjadi pada anak keturunanku…
Lha kok sekarang terulang lagi terhadap saksi saya. Duh..
Mendadak Kalasan

Pernah tahu lingkar kepala “Delapan Firma”


Medio Oktober 2017, kami mendatangi Vendor untuk resepsi pernikahan. Ssampailah pada acara pemilihan baju, tertutama bagi Ayah “CPP dan CPW”. Begitu buanyak ragam pakaian, bagi saya seperti ke toko parfum. Semua dicobai, semua Okey, kalau sudah “Yak Ubeng” alias “pening kepalaku Tante” – kata si Poltak “Ruhut”
Akhirnya memang saya memilih warna yang “restu” – maksudnya yang sudah dipilihin tetangga sebelah. Mungkin perangai ini terinduksi dari bahasa software Microsoft “do you agree” to install yang jawabnya musti kudu YES dengan hurup besar. Berani klik “NO” – resiko tanggung penumpang.
Maka jadilah dua stel busana. Satu warna silver sedang satunya gold. Desember kelak, saya berbusana ala pria Bugis. Jadi yang saya fantasikan ya legenda jaman kolonial yaitu Daeng “Patojo” – yang kini menjadi Petojo.
Ukuran kepala saya 8 FIRMA
Giliran mencoba “kupluk” alias kopiah, si embak Sanggar bertanya yang bikin saya “pening kepalaku Tante” – lantaran istilah “ukuran bapak delapan Firma ya?”
“Maksud mbak“”
Iya pak, kalau delapan Firma kursnya sama dengan sembilan Awing, si mbak mencoba menjelaskan. Ketika dia sebut AWING, aku mulai ngeh akan sebuah kupluk yang boleh dicuci sehingga terhindar dari bau campuran keringat, lemak, debu, lem kanji yang menempel pada kayu di loket kantor pos jaman sebelum NOW.
Pihak besan seperti teringat sesuatu, ia mengambil sebuah kupluk warna emas lantas dicobakan kepada saya.
“Ukurannya Pas!,” komentar saya ikutan slogan SPBU yang menjual dagangan sesuai takaran katanya.
Kelar fitting memfitting acara diakhiri dengan eating di Bakmi GM.
Sekali Mbak Irah – pamit, dua keluarga kehilangan pembantu ….
Gonjang ganjing daging sapi hilang dari pasaran, heboh bakteri Enterobacter Sakazakii (ES), Jaksa Ketua yang mencari koruptor tetapi nyambi mencuri dari koruptor belum menggoncangkan keluarga kami. Namun hari Minggu dua maret 2008 orang rumah bisa tertunduk meneteskan air mata.
Pasalnya sang deputy kepercayaannya sejak Februari 2006 tiba-tiba pamit untuk menikah dengan kerabat dekat seperti yang di inginkan oleh sang ayah. Modusnya biasa, keukeuh minta ijin pulang kampung lantaran ditilpun keluarga bahwa sang ayah muntah-muntah. Satu indikasi awal prt kita tak betah jika tilpun selalu berdering dari adik, kakak, keponakan, paklek entah siapa saja. Betul saja, Irah langsung pamit “cuma seminggu” pulang kampung – lantaran bapak sakit.
Beberapa hari lalu ia sempat mencium punggung tanganku pamitan sambil bilang “Irah pulang duluganya bahwa ya Pak..” – biasanya dia pulang membawa oleh-oleh beras tutu (tumbuk) merah kesukaanku. Namun kali ini setelah seminggu ia kirim pesan singkat mengatakan “Maaf Irah tidak boleh bekerja lagi ke Jakarta…”
Saya masih ingat baru beberapa minggu bekerja dengan kami, pada bulan Maret 2006 sang ayah datang njujuk (tinggal) disalah satu familinya di bilangan Jakarta Barat. Malam harinya kami ditilpun lantaran diberitakan bahwa Irah sakit muntah-muntah dan tidak mampu untuk berjalan. Lalu kami bergegas menuju ke rumah kontrakannya. Melihat anaknya sakit sang ayah ternyata bergegas pulang “tinggal glanggang colong playu” ke kampung ketimbang mengurusi sakitnya sang puteri. Sementara pihak keluarga yang kuatir ketempuhan seperti mendesak Irah agar “jangan sakit dirumahnya” – tidak seoles balsem sebagai tindakan pertolongan dilakukan disini.
Malam itu juga Irah kami bawa ke rumah sakit. Tidak mudah mendapat ruang di rumah sakit sebab Jakarta sedang dilanda demam berdarah dan tidak sanggup menerima pasien baru. Saya harus minta tolong adik dr. Agus Sudrajat yang saat itu masih di jalan Tol untuk kembali kerumahnya dan membatalkan semua acaranya untuk menolong nyawa Irah.
Kami terlanjur jatuh hati. Tak heran, berpembawaan “merak hati” – membuat orang suka melihatnya, para tamu kami kerap memberinya tips. Membalas email, membuka attachment, cukup satu kali ia diberi pengarahan, sisanya kita geleng-geleng melihat kecekatannya. Urusan mendaftarkan SIMCARD baru, memecah pulsa, mengisi pulsa, mengecek pulsa dia adalah kamus hidup.
Pakaian yang disandangnya keluaran merek dari luar negeri yang terkadang menimbulkan iri hati ABG “non PRT” se RT kami.
Baru sebentar bekerja di tempat kami Ira sudah memiliki HP, Gelang, Suweng (anting), Jam Tangan, Cincin, Tas, Sepatu sehingga kalau dia tidak mengaku siapa dirinya, orang akan menyangkanya anak SMA, kecuali memang wajahnya yang tertempa pekerjaan saat usia masih teramat belia. Tapi setiap kali ia pulang kampung terseoklah dia kembali menjadi Irah Gundul. Perhiasan dan uangnya ludes.
Ada lagi kebiasaannya sekali tempo ia pamit untu acara mingguan “main” ke rumah teman-temannya seprofesi. Bisa dipastikan penggemar Sinetron Fitri seperti mengalami semacam cuci otak atau “pencerahan” sebab keesokan harinya ia akan pamit dengan alasan menengok ayahnya di kampung.
Sebagai anak yang patuh, ancaman yang disampaikan temannya “bakal masuk neraka tidak mengikuti kata ayah” – sangat mempengaruhi bathin gadis kecil yang kuat salatnnya ini termasuk keputusan sang ayah bahwa Irah harus nikah dengan pemuda pilihan ayahnya.
Efek domino datang, sang Arjuna lain, Imam mendengar Irah menikah maka pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai supir sebuah keluarga langsung pamit keluar kerja dan pulang kampung.
“Hati saya gundah gulana,” alasannya. Padahal sebelumnya ia masih tergeletak akibat dugaan serangan thypus. Belakangan saya baru tahu setelah HP berdering. Di ujung telpun suara adik ipar terdengar tak bersemangat “Mas..supirku keluar tadi pagi, padahal semalam suhu badan masih panas..“- WoalahIrah ternyata kamu sudah mampu menaklukkan beberapa keluarga.
Doa kami Irah agar kamu bisa tegak berdiri bersama suamimu. Dan Imam bisa legawa menerima keputusan Irah dan paham bahwa jaman Siti Nurbaya masih ada di era PLN edisi Insentif dan De-insentif.
Artikel #912 Semua Orang Lumba-Lumba
Yang membuat kuping lalu berdiri, suara musik ini terdengar di kaki apartemen di satu negeri kecil yang sekalipun hanya satu jam setengah dengan penerbangan, bisa menunjukkan suasana berbalikan dengan kota tanah tumpah darah saya.
Saya lirik arloji masih menunjukkan sekitar pukul 10 pagi di hari Minggu, ketika dari pengeras suara terdengar suara mikrofon diketuk-ketuk dan ditiup sehingga menimbulkan suara mirip letupan bom.
Lalu organ tunggal mulai dipencet mengiringi suara penyanyi membawakan lagu “lima menit lagi ah ah…” Maaf bagi bukan pengamat dangdut, lagu “lima menit lagi” dipopulerkan oleh Neti Herawati ini lumayan populer sekalipun belum selaris manisnya lagu Mandi Madu atau Bang SMS.
Rupanya inilah cara “keriaan” berupa resepsi pernikahan dikalangan keturunan Melayu. Konon sekaya apapun orang Melayu, soal perkawinan mereka memilih tempat di kawasan apartemen. Bukannya pelit tetapi kuatir ada diantara para sanak kadang, kerabat justru urung hadir jika keriaan diselenggarakan ditempat mahal.
Uniknya acara keriaan ini zonder kata sambutan. Padahal di tanah air beta, acara resepsi perkawinan yang paling memolorkan waktu adalah potret bersama teman kantor, teman arisan, teman RT, klabing, alumni dan entah teman apa lagi yang hanya dinikmati oleh yang memang agak-agak berbakat Narcis. Pihak syaiful hajat (tuan rumah) sama sekali tidak memerlukan waktu untuk mengucapkan kata sambutan. Pendeknya, bertandang, angpau, menyanyi, menuju menu terhidang, lalu pulang.
Saya sering mendengar lalu dangdut begitu populer sampai menohok masuk ke Malaysia, Sarawak, Brunei. Namun masih sempat kaget-terkaget juga melihat kenyataan bahwa komunitas orang Melayu di Singapore juga menyenangi lagu dangdut. Lagu Indonesia yang lain yang dinyanyikan adalah lagu Melayu tempo dulu saat kejayaan penyanyi Said Effendi. Kadang mereka juga meyanyikan lagu Kris Dayanti seperti “Menghitung Hari” – tentunya dengan cengkok Melayu.
Lalu beberapa lagu “aseli sono” – yang mendayu-dayu sedih tetapi manakala masuk ke melodi, suara gitar meraung garang, melengking, melompat meninggi seperti hendak meraih sesuatu lalu mendadak “deg” hilang. Celakanya ketika diisi vokal justru suara sedih dengan tempo lambat yang diperdengarkan. Persis makan Roti Prata disambung Gudek Plengkung Wijilan. Cara jitu menyiksa lidah agar stress berat.
Seorang tamu (minus goyang) membawakan lagu Penasaran-nya Rhoma Irama. Saya sempat tersenyum sendiri mendengar bait dilantunkan “semua orang berlumba-lumba (pakai u), untuk mendapatkan kasih sayangnya…”- lha ini lidah melayu sehingga tidak dibedakan antara Lomba dengan Lumba-Lumba (nama mamalia air).
Malam hari ketika saya melewati tempat ini, meja kursi sudah tidak nampak lagi. Sisa pesta hanya terlihat beberapa plastik hitam gendut berisi sampah teronggok menunggu diangkut petugas kebersihan. Sementara anak-anak kembali bermain sepeda, berlarian di halaman yang lapang.